Alek Ambalau Suku Guci Batipuah Baruah | | | |
Ditulis oleh Teguh |
Senin, 21 May 2012 02:41 |
Dalam prosesi alek ambalau gala ini juga “didarahi” tiga orang datuk tuo kampuang pasukuan Guci. Masing-masing H Romi bergelar Datuk Rangkai Batuah, Jaya bergelar Datuk Intan Sati, dan Eri bergelar Datuk Tan Bagindo. Alek ini merupakan filosofi “patah tumbuah hilang baganti, pusako lakek ka nan mudo”. Prosesi alek ambalau ditandai dengan pemotongan kerbau untuk menjamu tamu. Tampak hadir niniak mamak pangulu pucuak, panungkek, tuo kampuang dan sejumlah undangan lainnya. Juga turut hadir Ketua DPRD Tanah Datar Zuldafri Darma, Wakil Ketua B Dt Tuo, Muspika Batipuah dan pengusaha H Zulfami dari Malaysia Para pangulu pucuak dan niniak mamak yang hadir dalam jamuan alek ambalau ini tampil dengan mengenakan pakaian adat sesuai tingkatannya masing-masing. Ketua DPRD Tanah Datar Zuldafri Darma, usai menghadiri jamuan ini mengaku puas karena dapat menyaksikan langsung proses penobatan gelar yang benar-benar mencerminkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK). Prosesi ini, kata Zuldafri Darma, bukan sekadar slogan kosong, namun sudah teraplikasi di tengah masyarakat di Batipuah Baruah. “Saya menemukan bahwa ABS-SBK bukan slogan, tetapi sudah terlaksana di Batipuh Baruah. Hal seperti ini hendaknya menjadi acuan juga di setiap nagari di Tanah Datar sebagai daerah Luhak Nan Tuo, pusat budaya di Ranah Minang, agar dapat menjadi contoh dalam penerapan adat yang sebenarnya,” kata Zuldafri Darma kepada Haluan, Minggu (20/5). Budaya adat seperti alek ambalau ini, tambah Zuldafri Darma, juga akan dapat menjadi ikon wisata seperti halnya budaya Bali. Dan tentunya budaya ini perlu pula diiringi dengan atribut adat bagi masyarakatnya sehari-hari, termasuk panggilan kepada mamak dan orang tua. Dan budaya ini harus pula diwariskan kepada anak kemenakan sehingga mereka tidak terbawa arus globalisasi dan budaya barat yang kini mulai merasuki para remaja kita. Makanya kalangan niniak mamak di Tanah Datar perlu merumuskan bersama-sama agar budaya Minang yang disebut indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh dapat terus dipertahankan,” katanya lagi. Tokoh rantau Batipuah Baruah H Zulfahmi alias H Sun, pemilik restoran dan rumah makan Pondok Indah di Pulau Jawa dan Malaysia kepada Haluan menyatakan, pangulu sebagai kayu gadang di tangah koto, ureknyo bakeh baselo, daun rimbun bakeh bataduah, kapai tampek batanyo kapulang bakeh mangadu harus dikembalikan ke khitahnya. Pangulu yang terkadang diamanahkan kepada kemenakan muda usia, kerap tak memahami adat di nagarinya secara utuh. Justru itu, sebelum memangku gelar adat, apakah gelar pangulu, panungkek atau tuo kampuang, kepada yang bersangkutan perlu kiranya diberikan pembekalan pengetahuan adat yang berlaku di salingka nagarinya. Tugas ini, kata H Sun, tentunya menjadi beban kerapatan adat di kenagarian masing-masing. Hal serupa juga diungkapkan budayawan Sumbar Musra Katik alias “Mak Katik”. Dia mengaku sedang menyusun buku pegangan budaya Minang karena banyak para remaja yang masih memahami adat Minang secara samar. “Kita khawatir jika budaya Minang ini menjadi simpang siur dan sesuai dengan apa yang mereka pahami sendiri-sendiri, maka akan rusaklah tatanan adat yang kita peturun panaikkan,” sebut Mak Katik, yang juga dosen 0todidak di Honolulu dan Malaysia ini. (Laporan Iwan DN) |